Kamis, 18 Maret 2010

yang menanti buah hati

Hadiah di Hari Lahir (1),
Mengunyah Kurma (Tahnik) Ke
Mulut Si Bayi
Jumat, 19 Maret 2010 00:30
Alhamdulillah wa shalaatu wa
salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala
aalihi wa shohbihi ajma’in.
Para pengunjung setia
Rumaysho.com yang semoga
selalu dirahmati oleh Allah Ta’ala.
Pada kesempatan kali ini dan
beberapa kesempatan lainnya,
kami akan banyak mengupas
mengenai hadiah bagi si buah
hati di hari lahirnya. Artinya di
sini, kita akan membahas amalan-
amalan apa saja yang
disyariatkan atau dituntunkan
bagi orang tua untuk si buah
hatinya ketika ia lahir. Semoga
pembahasan kami ini walaupun
ringkas dapat bermanfaat bagi
pembaca sekalian.
Yang Dimaksud Tahnik
Tahnik adalah melumurkan
kurma ke mulut bayi setelah
kurma tersebut dilumat. [1] An
Nawawi rahimahullah
mengatakan, “Para pakar bahasa
menyatakan bahwa tahnik adalah
mengunyah kurma atau
semacamnya, kemudian dilumuri
di mulut si bayi ”.[2]
Bukti Tuntunan Tahnik
Dari Abu Musa, beliau berkata,
وُلِدَ لِى غُلاَمٌ فَأَتَيْتُ بِهِ
النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم-
فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ
وَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ.
“(Suatu saat) aku memiliki anak
yang baru lahir, kemudian aku
mendatangi Nabi shallalahu
‘ alaihi wa sallam, kemudian beliau
memberi nama padanya dan
beliau mentahnik dengan sebutir
kurma. ”[3]
Dari ‘Aisyah, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- كَانَ يُؤْتَى
بِالصِّبْيَانِ فَيُبَرِّكُ
عَلَيْهِمْ وَيُحَنِّكُهُمْ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam didatangkan anak kecil,
lalu beliau mendoakan mereka
dan mentahnik mereka. ”[4]
An Nawawi menyebutkan dua
hadits di atas dalam Shahih
Muslim pada Bab:
استحباب تحنيك المولود عند ولا دته
وحمله إلى صالح يحنكه وجواز تسميته
يوم ولا دته واستحباب التسمية
بعبدالله وإبراهيم وسائر أسماء
الأنبياء عليهم السلام
”Dianjurkan mentahnik bayi yang
baru lahir, bayi tersebut dibawa
ke orang sholih untuk ditahnik.
Juga dibolehkan memberi nama
pada hari kelahiran. Dianjurkan
memberi nama bayi dengan
Abdullah, Ibrahim dan nama-
nama nabi lainnya.”
Pelajaran Penting Tentang
Tahnik
Pertama: Para ulama sepakat
tentang disunnahkannya
(dianjurkannya) mentahnik bayi
yang baru lahir dengan kurma.
Jadi tahnik dilakukan di hari
pertama.
Kedua: Jika tidak mendapati
kurma untuk mentahnik, maka
bisa digantikan dengan yang
lainnya yang manis-manis.
Ketiga: Cara mentahnik adalah
orang yang mentahnik
mengunyah kurma hingga agak
cair sehingga mudah ditelan, lalu
ia membuka mulut si bayi, lalu ia
meletakkan kunyahan kurma tadi
di mulutnya sehingga si bayi
akan mencernanya ke dalam
kerongkongannya.
Keempat: Hendaknya yang
melakukan tahnik adalah orang
sholih sehingga bisa diminta do’a
keberkahannya, terserah yang
mentahnik tersebut laki-laki atau
perempuan. Jika orang sholih
tersebut tidak hadir, maka
hendaklah bayi tersebut yang
didatangkan ke orang sholih
tersebut.[5]
Mengenai yang mentahnik boleh
seorang wanita sebagaimana
dijelaskan oleh Ibnul Qayyim
bahwa Imam Ahmad bin Hambal
ketika lahir salah satu bayinya,
beliau menyuruh seorang wanita
untuk mentahnik bayinya
tersebut. [6]
Ada ulama yang memberi
penjelasan urutan makanan yang
dijadikan bahan untuk
mentahnik: tamr (kurma kering);
kalau tidak ada, barulah rothb
(kurma basah); kalau tidak ada,
barulah makanan manis yaitu
yang jadi pilihan adalah madu;
dan setelah itu adalah makanan
yang tidak disentuh api. [7]
Di Samping Mentahnik, Minta
Do ’a Keberkahan
Di samping mentahnik,
penjelasan di atas juga
menunjukkan setelah ditahnik
hendaknya orang yang
mentahnik mendoakan
keberkahan pada si bayi dan
lebih utama yang mentahnik dan
mendoakan adalah orang sholih.
Yang dimaksud keberkahan
adalah tetapnya dan
bertambahnya kebaikan.
Demikian pembahasan ringkas
dalam serial pertama mengenai
hadiah di hari lahir yang bisa
kami sajikan. Nantikan
pembahasan selanjutnya insya
Allah. Semoga bermanfaat.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihaat.
Diselesaikan di malam hari, 4
Rabi ’ul Akhir 1431 H, 19/03/2010
di Panggang-GK
Penulis: Muhammad Abduh
Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
[1] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al
Kuwaitiyah, 2/3716, Multaqo Ahlil
Hadits
[2] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim
bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An
Nawawi, 3/194, Dar Ihya ’ At
Turots, cetakan kedua, 1392.
[3] HR. Muslim no. 2145.
[4] HR. Muslim no. 2147.
[5] Keempat point ini diolah dari
penjelasan An Nawawi
rahimahullah dalam Al Minhaj
Syarh Shahih Muslim,
14/122-123.
[6] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah,
2/3716
[7] Idem.